Check out more of our news
Mengenal Biaya BPHTB dalam KPR Rumah
5 Mei 2023 | Waktu baca 4 menit
Sebagai salah satu cara membeli rumah, ada berbagai biaya yang perlu kamu ketahui terkait KPR. Salah satu biaya tersebut adalah BPHTB. BPHTB merupakan singkatan dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Sebelum memutuskan membeli rumah dengan sistem KPR, kamu harus tahu berapa besaran biaya BPHTB yang harus dibayar serta syarat mengurusnya. Serba-serbi terkait BPHTB akan kita bahas secara lengkap dalam artikel ini.
Baca juga: Panduan Lengkap KPR
BPHTB adalah bentuk biaya yang dikenakan karena adanya perolehan hak atas tanah, bangunan maupun tanah dan bangunan. Perolehan hak tersebut adalah peristiwa hukum yang menyebabkan seseorang atau badan mendapatkan hak sebuah bidang tanah dan bangunan.
Dalam bahasa sehari-hari, BPHTB juga disebut sebagai bea pembeli (apabila proses perolehan hak tersebut terjadi karena adanya proses jual beli). Artinya, ada juga perolehan hak yang tidak berasal dari proses jual beli. Tiap macam perolehan hak tanah dan bangunan akan dikenai BPHTB.
Hal ini sesuai dengan UU No. 21 Tahun 1997 (sudah berubah menjadi UU No. 20 Tahun 2000, seterusnya hanya disebut sebagai UU BPHTB). Dalam undang-undang tersebut dikatakan bahwa BPHTB merupakan bea yang harus dikeluarkan karena adanya perolehan hak atas tanah atau bangunan (terlepas dari prosesnya karena jual beli atau bukan).
Selain pembelian rumah KPR, BPHTB juga bisa muncul karena adanya perolehan hak dari proses hibah, waris, tukar-menukar, pemisahan hak yang menyebabkan peralihan, pemekaran usaha hingga hadiah.
Lalu, berapa besaran biaya BPHTB yang harus kamu keluarkan saat membeli rumah KPR? Nilainya adalah 5% dari harga jual bangunan setelah dikurangi dengan NPOPTKP (Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak).
Perlu diketahui bahwa ada perbedaan antara NPOP dengan NJOP yaitu terkait tentang siapa yang menentukan besarannya. Nilai NPOP ditentukan dari kesepakatan antara penjual dengan pembeli. Sementara NJOP, besarannya ditentukan langsung oleh pemerintah.
Besaran NPOP bisa berubah dengan sangat mudah, tergantung situasi tempat bangunan atau tanah itu berada. Jika nilai NPOP lebih tinggi daripada NJPOP, nilai yang dipakai sebagai perhitungan adalah NPOP. Begitu juga sebaliknya.
Sementara itu, nilai NPOPTKP di setiap daerah juga berbeda-beda, tergantung kondisinya. Menurut UU No. 28 Tahun 2009 mengenai Pajak dan Retribusi Daerah (pasal 87 ayat 4) sudah ditetapkan bahwa besaran NJOPTKP paling sedikit adalah Rp60 juta untuk setiap wajib pajak.
Akan tetapi, jika perolehan hak tanah dan bangunan itu dari hibah wasiat atau warisan dari orang yang masih berhubungan keluarga, NPOPTKP-nya ditetapkan paling kecil sebesar Rp300 juta.
Seperti yang sudah dijelaskan di atas, biaya BPHTB wajib dikeluarkan oleh individu maupun badan usaha yang mendapat perolehan hak atas tanah dan bangunan. Artinya, dalam pembelian rumah KPR, biaya BPHTB dibebankan kepada pembeli. Sementara penjual dikenai PPh (Pajak Penghasilan). Lalu, siapa yang memiliki kewenangan untuk mengutipnya?
Dulu BPHTB dikutip langsung oleh pemerintah pusat. Namun, setelah diterbitkannya Undang-undang No. 28 Tahun 2009 mengenai Pajak dan Retribusi Daerah, BPHTB kini menjadi kewenangan pemerintah kabupaten atau kota tempat objek berada (baik untuk pengutipan maupun penerbitannya).
Rumus penghitungan BPHTB adalah:
Nilai DPP didapatkan dari rumus:
Dasar dari pengenaan BPHTB berasal dari NPOPKP (Nilai Objek Pajak Kena Pajak).
Untuk lebih memahami cara penghitungannya, mari kita simak contoh berikut ini!
Contoh:
Kamu membeli rumah di Kota A dengan nilai transaksi Rp900 juta dengan NJOP setempat senilai Rp800 juta. Sementara itu, nilai NPOPTKP di Kota A adalah Rp80 juta. Karena NPOP-nya lebih tinggi dari NJOP, nilai yang dipakai dalam perhitungan adalah NPOP. Jadi, perhitungannya adalah:
Persyaratan pengurusan BPHTB berbeda-beda, tergantung bagaimana cara perolehan hak tanah atau bangunan tersebut. Untuk BPHTB KPR, karena termasuk jual beli, persyaratan yang harus disiapkan antara lain adalah:
Proses pembuatan BPHTB bisa berbeda-beda, tergantung kota/kabupaten tempat tinggalmu. Namun, umumnya waktu yang dibutuhkan kurang lebih 7 hari setelah semua berkas dilengkapi.
BPHTB wajib dibayarkan sebelum adanya transaksi atau sebelum pembuatan dan penandatanganan akta.
Karena sudah diatur oleh undang-undang, BPHTB wajib dibayar. Jika tidak, orang atau badan hukum yang bersangkutan akan mendapatkan sanksi administrasi berupa denda dan bunga. Sanksi administrasi akan dikenakan sebesar 2% per bulan untuk jangka waktu maksimal 24 bulan jika hasil pemeriksaan menemukan kurang bayar.
Sanksi ini dihitung sejak terutangnya pajak hingga surat SKBKB (Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar) diterbitkan.
Agar unsur legalitas bisa dipenuhi, proses pindah tangan hak atas tanah dan/atau bangunan dibantu langsung oleh notaris atau PPAT. Hal ini diatur dalam Pasal 91 dan Pasal 92 UU PDRD. Jika dalam prosesnya terjadi pelanggaran, ada sanksi administratif sebesar Rp7,5 juta untuk setiap pelanggaran.
Kepala kantor yang membawahi bidang pelayanan lelang negara juga wajib membayar denda sebanyak Rp250 ribu untuk setiap laporan. Karena itu, pastikan proses pembuatan BPHTB-mu sesuai dengan alur yang ditentukan.
Perlu diketahui bahwa BPHTB merupakan bea, bukan pajak. Jadi secara langsung, BPHTB tidak sama dengan PBB (Pajak Bumi dan Bangunan). Ada beberapa hal yang membedakan antara bea dengan pajak. Inilah yang membuat PBB berbeda dengan BPHTB. Apa saja?
Pembayaran BPHTB hanya satu dari sekian banyak proses yang akan kamu lalui saat membeli rumah secara KPR. Tidak perlu pusing duluan karena sekarang pengajuan KPR dan Pindah KPR semakin mudah bersama IDEAL. Daftar sekarang dan temukan rumah KPR terbaik sesuai dengan preferensi dan kondisi keuanganmu. Ajukan KPR sampai ke 3 bank sekaligus dan pantau secara online lewat ponselmu lewat aplikasi IDEAL!